Ke Heidelberg Aku Kembali

Date: 26/03/2020

Bunyi beker membangunkan saya dari tidur. Waktu masih menunjukkan Pukul 4:30 pagi. Segera saya raih telepon seluler dari kepala dipan. Muncul pengingat di layar smartphone. Saya akan ke Jerman hari ini.

Hari itu Jumat, 21 April 2017. Genap sudah setahun saya bekerja dan menetap di Austria. Meski demikian, selalu ada keinginan membuncah untuk menyusuri kembali jalanan kota, tempat saya menuntut ilmu tujuh tahun lalu. Saya harus balik lagi ke sana. Ke Heidelberg.

Tepat Pukul 20:39, kereta saya berangkat dari Stasiun Kereta Utama Wina menuju Frankfurt. Pemberhentian terakhir saya adalah Stasiun Heidelberg. Saya sempat mendengarkan lagu kenangan tentang Heidelberg di Spotify. Kota yang kali ini berhasil memanggil saya untuk kembali pulang. Tanpa sadar, saya ikut melantunkan beberapa kalimat dalam refrein lagu gubahan Friedrich Raimund Vesely itu. 


Ich hab' mein Herz in Heidelberg verloren,

In einer lauen Sommernacht.

Ich war verliebt bis über beide Ohren

Und wie ein Röslein hat ihr Mund gelacht.

Und als wir Abschied nahmen vor den Toren

Beim letzten Kuss, da hab ich's klar erkannt:

Dass ich mein Herz in Heidelberg verloren.

Mein Herz, es schlägt am Neckarstrand.

...

Perlahan, alunan bait demi bait membawa saya pada potongan memori saat pertama kali menginjakkan kaki di Jerman. Di Heidelberg, kota kecil di tepi sungai Neckar. Tempat saya memulai babak baru sebagai pembelajar bahasa Jerman. Menjadi seorang mahasiswa tamu di Jerman.


Masih terekam dengan jelas, saat pertama mendarat di bandara Frankfurt am Main pada akhir Oktober 2010. Dengan menggunakan kereta, perjalanan kemudian dilanjutkan ke Heidelberg. Angin kencang dan udara dingin awal musim gugur langsung menyergap tubuh begitu keluar dari Stasiun Heidelberg. Dengan bantuan Mike, seorang Patin – orang yang membantu pengurusan tempat tinggal dan segala keperluan saya saat tiba di Heidelberg – saya berhasil mendapatkan kamar di asrama mahasiswa yang berlokasi di Im Neuenheimerfeld 681, Heidelberg.


Mengapa saya bisa sampai ke Heidelberg? Saya adalah penyandang beasiswa Baden-Württemberg Stipendium, hasil kerjasama kampus saya di Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia dan universitas mitranya, Pädagogische Hochschule Heidelberg. Sebelumnya, saya harus melalui serangkaian proses seleksi hingga menunggu keputusan final dari komite pemberi beasiswa di Jerman.


Penantian yang cukup lama pun berbuah manis. Saya dinyatakan lolos seleksi tahap akhir dan diberangkatkan ke Jerman untuk mengikuti perkuliahan selama 2 Semester di PH Heidelberg. Beasiswa penuh menjadi ganjaran selama di Negeri Panzer.


‘‘Fahrschein, bitte!‘‘, terdengar suara petugas kereta di ujung gerbong yang sedang memeriksa tiket penumpang. Saya merogoh saku bagian dalam jaket dan mengeluarkan tiket, tak lupa juga kartu identitas. Selepas pengecekan, saya memutuskan untuk tidur. Beristirahat menunggu pagi sebelum berganti kereta di Stasiun Frankfurt Flughafen.


Pukul 05:52 kereta tiba di Frankfurt. Saya bergegas turun untuk mencari kereta lanjutan ke Heidelberg. Namun, godaan aroma kopi dan croissant yang kuat membuat saya membeli sarapan sebelum ke peron. Tak lama berselang, terdengar sebuah pengumuman dari pengeras suara. Rangkaian kereta ICE yang singgah di Heidelberg, akan segera tiba. Penumpang diharapkan untuk bersiap-siap.


Menjelang Pukul 08:00, saya tiba di Stasiun Heidelberg. Tidak banyak yang berubah dari stasiun ini. Saya bahkan masih mengingat letak toko buku, kios oleh-oleh khas Heidelberg, begitu juga tempat menjual rokok, yang letaknya tidak jauh dari pintu keluar. Sambil menunggu waktu check-in, saya menggunakan waktu yang ada untuk berkunjung ke kota lama Heidelberg.


Kepingan-kepingan ingatan akan Heidelberg bermunculan saat saya mulai melangkahkan kaki menelusuri salah satu kota pelajar di Jerman ini. Dari Stasiun Heidelberg, saya menyebrang ke Print Media Academy, sebuah gedung kaca berlantai 12 milik perusahaan mesin cetak, Heidelberger Druckmaschinen AG. Di depan gedung ini terdapat sebuah patung kuda besi yang unik – S-Printing Horse – dengan tinggi mencapai 13 meter.


Dari sana, saya menyusuri jalan sepanjang Kurfürsten Anlage dan berbelok ke Bismarckplatz: titik bertemu teman kuliah atau teman dari Indonesia dulu; tempat berkumpulnya para turis dan warga lokal; kawasan yang merupakan ujung jalur pejalan kaki dari arah kota lama yang biasanya penuh sesak.


Saya melanjutkan perjalanan ke Theodor-Heuss-Brücke, jembatan yang membentang di atas sungai Neckar dan menjadi penghubung Bismarckplatz dan wilayah Neuenheim. Puas menikmati pemandangan dari atas jembatan, saya lalu mengarah ke sisi barat kota lama hingga saya sampai di Zeughausmensa im Marstall. Sebuah kantin yang sangat terkenal di kalangan mahasiswa Heidelberg.


Saya lantas melihat arloji, sudah waktunya makan siang. Teringat sebuah restoran kebab yang berada di kawasan kota lama, tempat makan favorit saya kala menjadi mahasiswa. Sudah tidak terhitung berapa kali saya makan di tempat itu selama tinggal di Heidelberg. Restoran tersebut juga selalu masuk dalam daftar wajib kunjungan, setiap ada teman atau kenalan dari Indonesia yang bertamu. Kebap Haus Heidelberg, begitu namanya.


Menu yang akan saya jadikan santapan siang, sudah saya hafal di luar kepala. Seporsi Dönner Teller dan segelas cola sebagai minuman. Makanan yang selalu saya pesan tiap kali menyambangi tempat ini. Suap demi suap makin menerbangkan ingatan saya pada cita rasa kuliner ini. Masih tetap enak, sama seperti hampir sewindu lalu. Gurihnya daging, kentang goreng dan salat yang segar, lengkap dengan saus khusus, makin menambah selera.


Setelah perut sudah terisi, saya beranjak meninggalkan Kebap Haus dan mencari bus ke hotel. Saya sengaja memilih tempat menginap yang agak jauh dari kota lama. Selain karena murah, saya juga ingin menjelajahi area Heidelberg yang masih asing buat saya.

Seorang teman lama yang kebetulan tinggal di Heidelberg mengirimkan pesan teks untuk bertemu nanti malam. Saya mengiyakan ajakan tersebut. Malam itu, dia bersedia menjemput dan kami mendatangi sebuah bar di kota lama. Saya memesan segelas bir hitam yang menjadi minuman spesial di bar tersebut. Tak terasa, malam semakin larut, sehingga kami mengakhiri obrolan dan dia mengantarkan saya pulang.


Hari berikutnya, sehabis sarapan, saya kembali menggunakan bus ke kota. Tujuan saya adalah menapaktilasi sebuah jalan kecil menanjak ke arah bukit di seberang kota lama. Sewaktu berkuliah, tempat ini selalu saya jadikan tempat untuk menyepi. Menjauh dari hiruk pikuk, menikmati kesendirian, dan mengagumi pemandangan yang luar biasa ke arah Jembatan Lama (Alte Brücke), Kota Lama (Altstadt) dan Kastil Heidelberg (Schloss Heidelberg).


Menyendiri di Philosohpenweg ternyata masih menjadi daya tarik besar buat saya. Sepanjang jalan, saya masih dibuat kagum oleh pemandangan kota lama dan aliran sungai Neckar yang memanjang. Sesekali, saya berhenti dan mencoba mengambil gambar, berusaha untuk menangkap setiap momen di tempat ini. Mengarahkan kamera ke arah sungai, kota lama, maupun kastil yang menjulang kokoh.


Sesudah berkeliling di Philosophenweg, saya meneruskan jalan-jalan saya ke kota lama dengan menuruni anak tangga yang terjal di Schlangenweg. Sebuah jalan kecil khusus pejalan kaki dengan tembusan di ujung jembatan Alte Brücke. Di sekitar kota lama, saya kembali mengambil beberapa foto dan berakhir dengan menikmati segelas cappuccino di sebuah kafe lokal sambil mengamati lalu-lalang orang yang berkunjung.


Sisa waktu yang ada, saya gunakan untuk makan siang, mengunjungi Kastil Heidelberg dan berjalan santai melewati Hauptstraße, kawasan khusus pedestrian dengan jejeran toko di kedua sisi jalan. Jalan ini masih disemuti pengunjung. Saya berhenti sebentar di Kurpfälzisches Museum, museum pertama yang saya kunjungi di Heidelberg saat mengikuti perkuliahan yang diampu Frau Schön, dosen saya untuk mata kuliah Landeskunde.


Tanggal 24 April adalah hari terakhir saya di Heidelberg. Sebelum menempuh perjalanan kembali ke Wina, saya mampir ke kampus baru PH Heidelberg dan melihat gedung asrama mahasiswa tempat saya tinggal dulu. Beberapa gedung sekitar asrama sudah diganti dengan yang baru. Saya beruntung, gedung tempat saya pernah tinggal masih berdiri menjulang tinggi. Kepala saya mendongak ke lantai teratas. Bekas kamar saya memang berada di lantai 12 gedung ini.


Heidelberg sudah memberikan kenangan yang begitu banyak. Ingatan akan kota ini tak akan pernah pudar. Suatu hari nanti saya akan kembali. Semoga masih diberi kesempatan dan umur.


Penghujung tahun 2020 nampaknya harus dipertimbangkan. Tren 10-Year Challenge masih belum basi, bukan?