Surya Memudar di Üsküdar

Date: 21/03/2020

Tulisan ini adalah bagian lengkap dari tulisan yang telah diterbitkan oleh Koran Tempo Akhir Pekan, Edisi 14 Maret 2020

Link: https://koran.tempo.co/amp/perjalanan/450991/surya-memudar-di-skdar 


Bagi sebagian orang, Istanbul mungkin terlampau luas untuk dijelajahi seorang diri. Saya tertantang untuk menelusuri kota terbesar di Turki itu, dengan hanya menggunakan transportasi publik. Tanpa taksi. Tanpa pemandu. 


Dua jam, waktu tempuh penerbangan Wina-Istanbul, hampir tidak terasa. Pesawat Turkish Airlines yang saya tumpangi akhirnya tiba di Bandar Udara Istanbul. Bandara ini - New Istanbul Airport - baru resmi beroperasi sejak 6 April 2019. Letaknya cukup jauh dari Sultanahmet, kawasan Istanbul yang menjadi magnet untuk para pelancong dengan obyek wisata andalan seperti Hagia Sophia, Blue Mosque, dan Topkapi Palace.


Saat pesawat mendarat, saya mengeluarkan telepon genggam dari kantong jaket. Terlihat dua penunjuk waktu di layar gawai. Sekarang pukul 14.30 di Istanbul. Sementara di Wina masih pukul 12.30. Tertinggal 2 jam. Layaknya waktu Bandung dari Manokwari.

Selepas keluar dari pesawat, saya langsung mencari kamar kecil. Efek kopi yang saya minum dalam perjalanan tadi baru terasa. Kandung kemih harus segera dikosongkan.


Di dalam bandara yang relatif baru ini, tanda penunjuk arah sangat jelas. Selain menggunakan bahasa setempat, ada juga keterangan tambahan berbahasa Inggris, sehingga saya dengan mudah menemukan letak toilet yang tidak jauh dari imigrasi bandara. 


Saya kembali berpapasan dengan 2 WNI, ayah dan anak dari Wina, yang kebetulan menggunakan pesawat yang sama. Mereka mengunjungi Istanbul untuk berlibur. "Saya dan ayah mau liburan tahun baru di Istanbul," ungkap si anak saat kami boarding di Wina. "Mau pakai apa ke hotel?" tanya sang ayah sesaat sebelum pemeriksaan dokumen keimigrasian. "Saya belum tahu, Om," ucap saya singkat.


Kami kemudian berpisah. Mereka ke tempat pengambilan koper. Saya lantas berjalan menuju pintu keluar karena tak harus antri mengambil bagasi. Semua barang bawaan sudah saya masukkan ke dalam ransel yang saya bawa ke dalam kabin pesawat.


Langkah saya terhenti di sebuah mesin Anjungan Tunai Mandiri di dekat pintu keluar. Saya mengambil beberapa lembar uang Turkish Lira (TL) untuk ongkos dan pegangan sekadarnya.


Sesuai rencana, saya hanya akan menggunakan transportasi umum selama di Istanbul. Saya memutuskan untuk menggunakan bus ke hotel. Selain cepat dan aman, tentu karena harganya juga nyaman di kantong. Perusahaan bus yang melayani perjalanan dari dan ke bandara Istanbul adalah Havaist. Bus-bus perusahan ini melayani hampir 50 tujuan berbeda di dalam kota Istanbul.Mudah sekali mengenali busnya karena tulisan Havaist di badan bus yang mencolok. Mirip bus milik Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI).


Di pintu keluar terdapat penunjuk arah ke parkir bus Havaist. Letaknya persis di bawah terminal kedatangan. Untuk menggunakan bus ini, calon penumpang dapat langsung membeli tiket sekali jalan atau dengan menggunakan Istanbulkart.


Istanbulkart merupakan media pembayaran transportasi umum di Istanbul. Kartu seukuran kartu ATM itu digunakan untuk membayar bus, tram, metro, hingga feri. Harganya dipatok 6 TL di mesin dan 7 TL jika membeli dari kios penjualan. Saya memasukkan selembar 50 TL ke dalam mesin pembelian Istanbulkart yang berada di area parkir bus Havaist, menekan beberapa tombol, mengikuti petunjuk pembelian, dan voilà! kartu siap diisi saldo untuk digunakan.


Berhubung mesin pembelian tidak menyediakan uang kembalian, saya tidak mempunyai pilihan lain selain menukarkan semua uang kembalian dengan kredit ke dalam kartu saya. Sekarang saya memiliki 44 TL dalam Istanbulkart saya sebagai modal pelesir di Istanbul.


Sesudah memastikan arah bus yang benar, saya masuk ke dalam bus melalui pintu depan dan menempelkan Istanbulkart pada mesin pembaca kartu di samping pengemudi. Saldo saya berkurang menjadi 26 TL. Artinya, saya membayar 18 TL atau sekitar 2,75 euro untuk ikut dengan bus iST-17, jurusan Halkalı/Başakşehir ini.


Perjalanan dari bandara ke hotel berlangsung lancar. Saya tidak melihat banyak bangunan di sepanjang jalan menuju ke kota. Masih sepi, belum ramai oleh pembangunan. Setibanya di hotel, sehabis beristirahat melepas penat, saya langsung menyegarkan tubuh dan menunggu waktu makan malam sambil menyelesaikan bahan bacaan yang belum rampung.


Keesokan harinya, saya meninggalkan hotel dengan menggunakan bus bernomor 82, tujuan Eminönü. Kawasan ini dipadati oleh penduduk lokal dan turis. Deretan pemancing di atas jembatan Galata menjadi pemandangan yang khas di sini. Masing-masing orang dilengkapi dengan alat pancing dan ember kecil berisi ikan hasil tangkapan mereka. Sementara itu, beberapa pengunjung terlihat duduk-duduk menikmati udara pagi di ujung jembatan.


Ingatan saya kembali ke awal tahun 2018, saat pesawat saya transit di Istanbul dalam penerbangan Jakarta-Wina. Saya sempatkan mampir ke tempat ini untuk pertama kalinya. Tidak banyak yang berubah.


Hiruk pikuk Eminönü sesekali diselingi oleh pengumuman dari pengeras suara, mengimbau para penumpang yang akan mengikuti Bosphorus Tour untuk segera bersiap diri. Tur singkat dengan cruise melalui selat Bosphorus ini juga sudah pernah saya ikuti 2 tahun lalu. Kali ini saya ingin melakukan sesuatu yang berbeda.


Dari sisi jembatan yang dekat dengan Spice Bazaar, tampak jelas Galata Tower di seberang, tepatnya di atas sebuah bukit di daerah Galata/Karaköy. Galata Tower atau dalam bahasa Turki disebut dengan Galata Kulesi, adalah salah satu menara tertinggi dan tertua di Istanbul dengan tinggi mencapai 63 meter. Mulanya menara ini dibangun sebagai bagian dari tembok pertahanan kota untuk melindungi distrik Galata dari serangan musuh. Kini Galata Tower telah beralih fungsi menjadi tempat untuk menikmati suasana dan pemandangan kota Istanbul dari ketinggian. Biaya masuk ke menara ini 25 TL atau setara 3,82 euro.


Saya ingin ke Galata. Bukan ke Galata Tower, melainkan untuk ngopi di salah satu kafe lokal yang juga terkenal dengan viewnya. Kedai ini terletak di lantai teratas sebuah bangunan berlantai tiga dan hanya terpaut beberapa meter dari Menara Galata.


Waktu masuk ke dalam kafe, saya disambut oleh sapaan hangat seorang pelayan. ‘’Merhaba!’’ ucapnya. Saya diarahkan ke tempat duduk dan tak berapa lama dia kembali membawa sebuah buku menu. Tadinya saya ingin mencicipi çay - teh khas Turki - di tempat ini, namun setelah menempuh jalan yang agak menanjak ke lokasi kafe, saya berubah pikiran dan memesan segelas jus buah segar.


Sembari menyesap minuman, saya membuang pandangan ke kota tua yang terlihat jelas dari atap kafe yang terbuka. Sisi Asia dari Istanbul yang membentang di seberang selat Bosphorus pun seakan mengundang untuk disambangi. Saya harus ke sana. Saya ingin merasakan sensasi menyebrang ke Üsküdar menggunakan kapal feri sore nanti.


Beberapa burung camar yang sejak tadi berada di sekitar kafe tiba-tiba mendekat ke meja dua orang pengunjung wanita. Perhatian saya teralihkan. Burung-burung itu seakan hendak meminta sedikit dari santapan mereka berdua. Sadar akan hal itu, salah seorang dari mereka mengambil sedikit roti dan menjulurkan tangannya. Seekor camar menghampiri. Burung itu tampak ragu untuk mematuk potongan roti dari tangan si wanita. Ia memakan roti pemberian tersebut saat seorang pelayan kafe nimbrung. Seolah-olah baru saja mendapatkan isyarat lampu hijau dari sang pelayan. Sebuah pemandangan yang berhasil membuat kami semua tersenyum.


Setelah menghabiskan minuman dan puas menikmati panorama yang tak kalah dari yang ditawarkan di Galata Tower, saya beranjak meninggalkan meja dan menyodorkan 20 TL ke kasir. Jus campuran beberapa buah-buahan tadi dibanderol dengan harga 18 TL. Saya kembali melewati jalan yang menanjak ke arah Taksim Square.


Taksim Square adalah wilayah pusat kota Istanbul yang sangat ramai. Daerah ini dikelilingi oleh banyak hotel, restoran, bar dan terkenal dengan kehidupan malamnya. Alun-alun Taksim juga menjadi tempat perhelatan beragam acara, baik itu kegiatan-kegiatan sosial, konser musik, maupun perayaan tahun baru.


Tak lama berselang, saya sudah tiba di Istiklal Caddesi - sebuah jalan besar yang berujung di Taksim Square. Jalan Istiklal sore itu disemuti oleh pengunjung. Walhasil desak-desakan tak bisa terelakkan.


Kesan pertama saat menyusuri jalan ini: Istanbul yang moderen. Toko-toko dengan barang bermerek berderet di sepanjang jalan. Saya menyunggingkan senyuman kecil saat melintasi sebuah toko dengan nama yang menggelitik – Desa. Toko ini menjual koper, pakaian, dan sepatu dari brand tersohor. Sebuah desa dengan barang-barang yang harganya bisa bikin nelangsa.


Di jalan Istiklal juga ada sebuah bangunan gereja Katolik terbesar di Istanbul. Gereja Katolik ini bernama Basilika St. Anthony of Padua (Sent Antuan Kilisesi). Arsitektur bergaya Neogotik itu dibangun pada tahun 1906 oleh Giulio Mongeri, seorang arsitek berdarah Italia. 

Begitu tiba di depan gereja, pandangan saya langsung mengarah ke sebuah patung yang ditempatkan di bagian depan gedung basilika berbata merah ini. Patung itu merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada mendiang Paus Yohanes XXIII. Paus yang lahir dengan nama Angelo Giuseppe Roncalli itu, sempat melakukan pelayanan di Basilika Sent Antuan Kilisesi selama 10 tahun.


Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma untuk masa kepausan 28 Oktober 1958-3 Juni 1963 itu, memang pernah ditempatkan di Istanbul dalam tugas diplomatiknya sebagai Nunsius Apostolik - Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Vatikan - untuk periode 1934-1944. Atas kebaikan dan jasa-jasanya selama misi pelayanannya, Paus Yohanes XXIII dikenal sebagai "Il Papa Buono"(The Good Pope).


Hari semakin sore. Saya mesti kembali ke Eminönü agar tidak terlambat ke Üsküdar. Saya bergegas keluar dari gereja lalu pulang menggunakan metro M2 dari stasiun Taksim Square jurusan Yenikapi dengan stasiun pemberhentian di Vezneciler. Dari sana, saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Eminönü.


Di pelabuhan feri Eminönü, saya membeli tiket untuk penyeberangan ke Üsküdar seharga 2,60 TL. Riuh rendah penumpang memadati ruang tunggu. Tampak bahwa sebagian besar penumpang adalah warga lokal. Tak terlihat rombongan turis di sekitar.

Beberapa saat kemudian, kami dipersilakan naik ke feri. Saya memilih duduk di geladak atas. Mesin kapal dihidupkan. Deru mesin sudah terdengar. Beberapa penumpang bersiap dengan roti di genggaman guna memberi makan burung-burung camar. Kawanan burung camar laut mulai beterbangan mengelilingi kapal. Camar-camar ini terbang dengan lincah ke atas, berputar-putar, kemudian menukik menyambar remahan roti yang dilemparkan ke arah mereka.


Pukul 17.35 feri kami berangkat meninggalkan pelabuhan Eminönü. Burung-burung tadi masih mengekor, berkejar-kejaran, dan berebutan makanan di sisi kapal. Langit Istanbul perlahan memerah. Angin laut pun bergerak menyergap wajah. Waktu yang cocok untuk menikmati segelas çay hangat.


Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rupanya ada yang menjual teh Turki itu di dek bawah. Saya berjalan menuruni tangga dan kembali dengan segelas teh yang masih panas. Terlihat dari asap-asap kecil yang mengebul. Saya mencobanya. Tawar. Tak berasa manis. Saya memasukkan 2 bongkah gula berbentuk dadu yang diberikan penjual, mengaduknya beberapa saat, dan kembali menyeruputnya. Sungguh teh yang nikmat. Sebuah kombinasi yang pas.


Aroma khas laut, riak-riak kecil ombak, obrolan penumpang dengan bahasa yang asing di telinga, dan samar-samar suara burung camar yang bersahut-sahutan mewarnai perjalanan saya sore itu. Sebuah pengalaman yang tak akan mudah saya lupakan.


Penjual teh tadi mulai berkeliling mengumpulkan gelas-gelas kosong, pertanda tak lama lagi kami akan bersandar. Benar saja, tepat pukul 17.50 kami tiba di Üsküdar.  Penyeberangan dari pelabuhan Eminönü ke pelabuhan Üsküdar memang terhitung singkat. Hanya membutuhkan waktu lebih kurang 15 menit.


Terletak di kawasan strategis, pelabuhan Üsküdar yang berada di sekitar alun-alun Üsküdar itu, menjadi tempat berkumpul warga setempat. Tua, muda, laki-laki dan perempuan, tak terkecuali anak-anak memilih untuk menikmati sore dan menghabiskan waktu di sini. Beberapa nelayan juga mencoba peruntungan mereka dengan memancing di dekat dermaga.


Pada masa Kesultanan Turki Ottoman, Üsküdar dikenal sebagai daerah pemakaman utama. Hingga kini, jejak peninggalan sejarah tersebut masih banyak kita temukan di Üsküdar, yakni masih adanya kawasan pekuburan besar seperti Karacaahmet Mezarlığı, Bülbülderesi Mezarlığı, dan sejumlah kuburan Yahudi dan Kristen.


Distrik Üsküdar kemudian bertransformasi menjadi salah satu kawasan pemukiman tertua di Istanbul. Meski demikian, Üsküdar masih mempertahankan ciri khasnya sebagai sebuah kota yang tenang. Tidak heran bila Üsküdar adalah distrik pilihan para pensiunan Istanbul untuk menghabiskan hari tua mereka.


Dari dermaga, saya berjalan menyusuri pesisir Üsküdar dan menikmati ujung petang. Matahari senja berjalan pelan sebelum malam datang. Dari masjid-masjid Üsküdar, lantunan suara azan magrib pun mulai berkumandang.


Di sebuah bangku kayu, saya duduk dan rehat sebentar. Melihat lalu lalang pengunjung yang ingin menutup hari dengan mengagumi Bosphorus dari garis pantai Üsküdar; menyaksikan matahari Üsküdar di ufuk barat yang perlahan memudar.


Persinggahan saya kali ini terasa berbeda. Merasakan bagaimana berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat setempat, melihat dari dekat kehidupan mereka, dan tak lupa mencoba teh kebanggan warga Istanbul, memberikan pengalaman tersendiri yang akan saya bawa kembali ke Wina.

Senja di pesisir pantai Üsküdar