New Normal yang Kelewat Tak Normal

Date: 13/07/2020

''Katong di sini new normal lebih dari normal pung pi lai'', kelakar abang tertua saya beberapa hari lalu saat kami membahas perilaku masyarakat memasuki masa kenormalan baru. Sekarang ini ''tinggal di rumah'' memang bukan lagi menjadi pilihan bagi sebagian orang, terlebih mereka yang berada di pedesaan. Tuntutan ekonomi, lingkungan sosial, dan beban psikologi menjadikan new normal sebagai sebuah perilaku baru yang mesti dibiasakan. 


Belakangan istilah new normal menjadi beken. Dari obrolan para petani di gubuk sawah hingga headline berita media cetak nasional kerap menyertakan sebutan ini. Meski demikian, new normal bukanlah term yang baru. Dalam dunia ekonomi dan keuangan, new normal telah dipopulerkan lebih kurang sejak sedasawarsa silam.


Istilah new normal kemudian masuk ke ranah sosial & budaya dan digunakan untuk menjelaskan sebuah situasi yang sejak awalnya tidak dikenal atau tidak lazim namun sekarang menjadi lumrah dan bersifat umum. Pandemi COVID-19 semakin mengukuhkan penggunaan istilah ini. Seiring pemakaiannya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memasukkan lema ''kenormalan baru'' sebagai padanan dari istilah new normal.


Sesuatu yang normal biasanya merujuk pada hal-hal yang dilakukan oleh kebanyakan orang dan telah menjadi sebuah kebiasaan. Sedangkan kenormalan baru dipahami sebagai sebuah keadaan normal yang baru karena belum pernah ada sebelumnya. Terkait dengan COVID-19, kenormalan baru adalah sikap dan perilaku baru sebagai reaksi terhadap penyebaran virus SARS-CoV-2.


Di Indonesia, kenormalan baru menjadi sebuah solusi kala beragam masalah mulai bermunculan sejak kampanye Di Rumah Aja digaungkan. Namun, pengadopsian kenormalan baru dengan melakukan kegiatan sehari-hari tanpa mempertimbangkan risiko tertular COVID-19 tentu sangat berbahaya. Perbedaan persepsi terhadap risiko terjangkitnya virus ini juga menjadi penyebab melonjaknya angka pasien yang terinfeksi.

Persepsi kita terhadap sebuah risiko tentu berbanding lurus dengan sikap kita dalam menghadapi risiko itu. Semakin paham seseorang terhadap risiko terpapar virus berbahaya ini, semakin hati-hati pula dia dalam bertindak. Minimnya pemahaman masyarakat akan risiko terkena COVID-19 memunculkan sikap tidak acuh dan terkesan menyepelekan penyakit ini.


Sebagian orang bahkan mungkin beranggapan bahwa hanya terdapat 2 risiko COVID-19 (berisiko atau tidak berisiko). Anggapan ini jelas keliru karena risiko tertular COVID-19 berada dalam sebuah rentang risiko (risc spectrum) - risiko rendah, risiko sedang, risiko tinggi, hingga risiko sangat tinggi. Orang yang mengisi BBM di stasiun pengisian bahan bakar risikonya lebih rendah dibandingkan orang yang makan di dalam sebuah restoran. Pun dengan risiko orang yang memilih untuk berolahraga di pusat kebugaran yang jauh lebih tinggi daripada yang berolahraga di ruangan terbuka.


Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa risiko penularan semakin tinggi apabila paparan dengan virus berlangsung lama, melibatkan banyak orang dengan jarak fisik yang berdekatan, dan dalam ruangan tertutup. Pemahaman mengenai rentang risiko seperti ini yang nantinya bisa membantu membentuk persepsi seseorang terhadap sebuah risiko. Kelak persepsi risiko yang akurat dapat mencegah sikap yang mengentengkan risiko terjangkit COVID-19 atau perasaan takut yang berlebihan sehingga tidak berani melakukan aktivitas.


New normal sudah selayaknya didasari persepsi risiko yang akurat. Perilaku baru ini harus segera disebarluaskan ke masyarakat. Pemerintah perlu berinsiatif dan melakukan kampanye kesehatan yang masif dan intensif terkait hidup di tengah pagebluk COVID-19, bukan sekadar seruan "berdamai dengan COVID-19". Lebih dari itu, pemahaman akan rentang risiko yang terukur dan akurat akan mempersiapkan masyarakat untuk mengambil tindakan yang tepat dalam menghadapai berbagai situasi.