Merayakan Sedasawarsa Beasiswa

Date: 23/06/2020

Hari ini 10 tahun silam, saat membuka laman Facebook, saya mendapati sebuah pesan singkat berisi permintaan untuk mengirimkan kembali alamat surel. Pengirimnya asing. Tidak saya kenal.


Berasal dari keluarga berlatar belakang pendidik, saya diamanatkan untuk melanjutkan tugas mulia Ayah saya. “Kamu harus jadi guru biar bisa gantikan, Bapak”, ujarnya pada sore selepas pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Atas di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Setelah berunding dengan semua anggota keluarga, saya memutuskan untuk berkuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, di sebuah universitas negeri di kota Bandung, Jawa Barat.


Memiliki kesempatan untuk merantau dan mengenyam pendidikan tinggi di Kota Kembang membuat saya harus mensyukuri nikmat tersebut. Saya mesti giat belajar. Tidak, saya bukan kutu buku. Saya hanya melakukan sedikit usaha lebih. Mengikuti kelas pagi, mengumpulkan tugas tepat waktu, rutin mendengarkan rekaman audio berbahasa Jerman sebelum tidur, dan menempelkan beragam idiom di dinding kamar indekos dengan harapan suatu hari nanti dapat saya gunakan di Jerman.


Layaknya mahasiswa pada umumnya, saya menjalani keseharian dengan mengikuti perkuliahan seperti biasa, bergaul, berjejaring, nongkrong, dan sesekali tak lupa membuka kembali diktat kuliah. Suatu hari tersiar kabar di jurusan saya bahwa akan ada pembukaan seleksi beasiswa ke Jerman yang diselenggarakan atas kerjasama universitas kami di Bandung dan kampus mitranya di Jerman.


Saya masih mengingat persis momen itu. Sepulang kuliah saya langsung mengabari keluarga di rumah. “Bapa, beta kayanya bisa pi Jerman. Tadi dong ada pengumuman bilang mau ada pembukaan seleksi beasiswa buat pi kuliah di sana”, ungkap saya dengan penuh semangat. Keinginan untuk segera mengaplikasikan daftar idiom yang saya buat semakin kuat. Malam itu saya bahkan sudah mulai menyiapkan kelengkapan administrasi yang mungkin akan diperlukan dalam proses penyeleksian kelak.


Beberapa minggu berselang, sebuah pengumuman sudah terpampang di papan informasi jurusan. Tampaknya proses seleksi akan dimulai. Calon pelamar beasiswa yang memenuhi persyaratan dimohon agar menyerahkan semua berkas yang dibutuhkan. Tentu saya ikut serta dalam penyeleksian tersebut, karena kebetulan saya mampu memenuhi semua persyaratan yang diminta.


Mulanya kandidat yang diunggulkan mengikuti wawancara yang dihelat oleh jurusan. Dari hasil wawancara tersebut kemudian terpilih beberapa nama yang mendapatkan rekomendasi oleh pihak jurusan Pendidikan Bahasa Jerman. Meski demikian, proses seleksi belum sampai pada tahap final. Nama-nama itu selanjutnya dikirimkan ke komite pemberi beasiswa di Jerman. Nama saya termasuk di dalamnya.


Hari berganti hari, minggu-minggu berlalu, tak terasa beberapa bulan sudah terlewati. Kabar yang dinanti tak kunjung datang. Hingga pada Rabu pagi, 23 Juni 2010, saat membuka akun Facebook pribadi saya, ada pemberitahuan pesan baru dari orang tak dikenal yang meminta saya untuk mengirimkan kembali alamat email saya ke pihak komite pemberi beasiswa di Jerman. Rupanya dari seorang pegawai di kampus mitra.


Ihwal pesan tersebut adalah kesalahan domain email yang saya cantumkan dalam aplikasi beasiswa. Singkat cerita saya mendapat pemberitahuan resmi bahwasanya saya adalah penerima beasiswa Baden-Württemberg-STIPENDIUM untuk tahun ajaran 2010/2011. Oleh karenanya, saya berhak untuk mengikuti perkuliahan selama 2 semester di Pädagogische Hochschule Heidelberg, Jerman dengan ganjaran beasiswa penuh.


Hari ini, tepat sedasawarsa kemudian saya masih bertanya-bertanya. Bagaimana seandainya waktu itu saya tidak memiliki akun Facebook? Apakah pemberi beasiswa akan menghubungi pihak kampus di Bandung? Atau malah membatalkan pemberian beasiswa tersebut karena keteledoran saya?


Eins ist auf jeden Fall sicher: Alles im Leben passiert aus einem bestimmten Grund, der uns dann zu den Menschen formt, die wir später werden.



Wina, Austria, 23 Juni 2020


Catatan:

Beta = saya

Pi = pergi

Dong = mereka